WHO Tuai Kecaman Lagi, Kini Soal Penularan Virus Corona COVID-19 Via Udara
SUARA DESA -
Apakah Virus Corona
penyebab COVID-19, menyebar melalui partikel kecil di udara? Atau
apakah faktor utama penularan percikan ludah terjadi ketika orang
berbicara ataukah bernafas?
Jawabannya bisa memengaruhi tindakan pencegahan apa yang harus dilakukan warga untuk melindungi diri dari virus.
Kelompok yang terdiri dari 239 ilmuwan mengatakan, penularan melalui udara merupakan faktor utama, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Rabu (8/7/2020).
Menurut harian The New York Times, kelompok ini mendesak
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) untuk
mengakui masalah ini dan membuat rekomendasi tentang pengendalian
infeksi lebih ketat.
Para ilmuwan itu mengatakan, WHO tertinggal dari ilmu pengetahuan.
Namun pertanyaan itu tidak sepenuhnya diterima dan para ahli lainnya
yang membela tanggapan WHO.
Ini bukan pertama kalinya WHO dikecam selama pandemi Corona COVID-19. Akhir bulan lalu, WHO mengubah kerangka waktu hari-hari awal pandemi
untuk mengklarifikasi bahwa WHO pertama kali mengetahui tentang Virus
Corona dari laporan berita China, bukan pemerintah China.
"Ini bisa dianggap sebagai kecaman terselubung mengenai kurangnya
transparansi atau kerja sama China dengan WHO pada hari awal
epidemi ini," tulis asisten profesor riset kesehatan global Universitas
Georgetown, Claire Standley, dalam email kepada VOA, "dan bertentangan
dari pendirian WHO sebelumnya serta dukungan kuat WHO terhadap China".
Pengecam dari Partai Republik, termasuk Presiden Donald Trump,
mengatakan WHO terlalu dekat dengan Beijing. Mereka mengatakan
pemerintah China belum memberikan informasi, yang jelas melanggar
peraturan WHO. Pemerintahan Trump mengatakan sedang memangkas dana untuk
WHO.
Pada Juni, pimpinan teknis COVID-19, WHO, Maria Van Kerkhove, dituduh
memperkeruh situasi ketika mengatakan transmisi tanpa gejala "sangat
jarang."
Penelitian menunjukkan pasien menyebarkan virus sebelum mereka
menunjukkan gejala. Perbedaan kecil dalam terminologi - antara orang
"tanpa gejala" yang tidak pernah menunjukkan gejala dan "orang yang belum
menunjukkan gejala" yaitu orang yang tidak menunjukkan gejala namun
akhirnya menunjukkan gejala, tampaknya turut membingungkan.
Namun sebagian pengecam mengatakan WHO menetapkan standar terlalu
tinggi untuk bukti, dan dalam diskusi juga meremehkan transmisi melalui
udara.
"Menurut saya, buktinya benar-benar kuat," kata Direktur Institut
Kesehatan Global Harvard, Ashish Jha. "Tapi entah karena alasan apa,
sepertinya tidak memenuhi ambang batas WHO mengenai kepastian, yang
menurut saya jelas terlalu tinggi."
Para pasien terkena COVID-19 dari penyanyi di tempat latihan paduan
suara dan dari orang yang terinfeksi karena hembusan udara di restoran
yang ber-AC, contoh yang dikatakan para ahli merujuk pada transmisi
melalui udara.
Jha mengatakan, WHO mungkin mempertimbangkan dampaknya di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, di mana pengendalian
infeksi yang lebih ketat bisa mahal. Namun, WHO "tidak memikirkan kerugian akibat melakukan kesalahan," tambah Jha.
"Jika tempat-tempat itu tidak memiliki ventilasi yang baik, jika
orang tidak memakai masker yang tepat, maka saya khawatir kita akan
menyaksikan infeksi di ruang dokter dan perawat, dan kita akan
menyaksikannya menyebar di seluruh rumah sakit," kata Jha.
Para pakar kesehatan masih memperdebatkan peran transmisi lewat udara
dan tidak semua orang sepakat peningkatan rekomendasi tepat.
"Saya kira benar-benar tidak realistis, dan saya kira epidemiologi
tidak mendukungnya," kata ahli epidemiologi Johns Hopkins Center for
Health Security, Jennifer Nuzzo ,dalam sebuah wawancara.
Beberapa penelitian telah menemukan unsur genetik Virus Corona yang ada pada sampel udara di rumah sakit, tetapi mereka belum menemukan virus nyata dan menginfeksi.
Satu
penelitian baru-baru ini menyimpulkan bahwa percikan ludah, bukan
udara, kemungkinan besar bertanggung jawab menyebarkan virus dari pasien
yang terinfeksi ke beberapa petugas kesehatan di rumah sakit A.S. Bagi kebanyakan orang, kata Nuzzo, perdebatan itu tidak banyak berpengaruh.
"Kita sudah mengetahui bahwa duduk dan mengadakan kontak yang lama di dalam ruangan di mana ada kualitas udara yang buruk, di mana orang-orang cukup lama berbincang-bincang, beresiko" katanya.
"Apakah itu berarti kita perlu memakai masker N95 di lingkungan itu? Saya kira tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa itu perlu."
Masker N95 adalah masker medis kelas tertinggi yang paling banyak memblokir partikel virus. Masker kain kurang efektif, tetapi semakin direkomendasikan sebagai cara terbaik yang bisa dilakukan orang untuk memperlambat penyebaran virus.
WHO "sering mendapati dirinya terjebak di antara situasi sulit, terlampau agresif dengan rekomendasi berdasarkan bukti awal dan menghadapi kecaman karena tidak cukup berbasis ilmu pengetahuan dan bukti," kata Standley dari Universitas Georgetown.
Namun jika "menunggu data ilmiah yang konklusif WHO dituduh terlalu meremehkan risiko dan membingungkan ketika tindakan tegas diperlukan," tambah Standley.
"Kita sudah mengetahui bahwa duduk dan mengadakan kontak yang lama di dalam ruangan di mana ada kualitas udara yang buruk, di mana orang-orang cukup lama berbincang-bincang, beresiko" katanya.
"Apakah itu berarti kita perlu memakai masker N95 di lingkungan itu? Saya kira tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa itu perlu."
Masker N95 adalah masker medis kelas tertinggi yang paling banyak memblokir partikel virus. Masker kain kurang efektif, tetapi semakin direkomendasikan sebagai cara terbaik yang bisa dilakukan orang untuk memperlambat penyebaran virus.
WHO "sering mendapati dirinya terjebak di antara situasi sulit, terlampau agresif dengan rekomendasi berdasarkan bukti awal dan menghadapi kecaman karena tidak cukup berbasis ilmu pengetahuan dan bukti," kata Standley dari Universitas Georgetown.
Namun jika "menunggu data ilmiah yang konklusif WHO dituduh terlalu meremehkan risiko dan membingungkan ketika tindakan tegas diperlukan," tambah Standley.
No comments