Kasus Pencaplokan Tanah di Helvetia Memanas, Polda Sumut Diminta Memeriksa Oknum yang Terlibat
SUARA DESA -
Kasus
pencaplokan (perampasan) tanah di Dusun 2 Desa Helvetia, Kecamatan
Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang makin memanas. Sejumlah oknum yang
ditenggarai terlibat sejak proses awal pembuatan surat pengakuan
penguasaan fisik yang ditulis oleh Rakiyo (70) mulai saling tuding,
seakan tidak terlibat dalam kasus tersebut.
Sementara itu, pihak
Merawati yang menjadi korban, melalui penasehat hukumnya Ardianto SH
meminta Polda Sumut segera memanggil dan memeriksa sejumlah oknum yang
diduga terlibat dalam proses pencaplokan tanah di areal seluas 5.600 M2
itu.
Dengan
diperiksanya oknum-oknum yang diduga terlibat, diharapkan kasus ini
bisa terungkap secara terang benderang dan Merawati bisa mendapatkan
kembali haknya.
“Kita sudah sampaikan seluruh berkas yang
berkaitan dengan kasus itu ke Direskrim Polda Sumut. Kita berharap
kasusnya segera diusut agar oknum-oknum yang terlibat dalam pencaplokan
tanah, hingga terbitnya sertifikat hak milik (SHM) dari BPN Deli Serdang
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka secara hukum,” jelas Ardianto
SH.
Sesuai Putusan Mahkamah Agung RI No.139 K/ TUN/ 2002 tanggal
21 April 2004, Merawati secara sah memiliki sebidang tanah seluas 5.200
M2 di Dusun 2 Desa Helvetia.
Salah satu dictum putusan itu dengan tegas menyebutkan, bahwa tanah tersebut bukan bagian dari HGU PTP IX. Bahkan kemudian keluar Surat Gubernur Sumut, masa Raja Inal Siregar, yang melarang PTPN 2 (setelah dilebur dengan PTP IX) mendirikan bangunan apa pun di atas tanah tersebut.
Berdasarkan
kekuatan inilah kemudian Merawati mengurus Surat Keterangan dari Camat
Labuhan Deli. Dan seluruh data administrasi atas tanah ini ada di kantor
Desa Helvetia dan kantor Camat Labuhan Deli.
Namun kemudian
tanpa sepengetahuan Merawati, oknum Sekretaris Desa Helvetia Komarudin
menandatangani surat pengakuan penguasaan fisik yang diajukan Rakiyo,
atas lahan seluas 1.888 M2 yang jelas-jelas tidak sesuai dengan fakta di
lapangan.
Anehnya surat tanpa nomor registrasi itu, kemudian
ikut ditandatangani dan di stempel oleh Camat Labuhan Deli Eddy
Syahputra Siregar. Belum terungkap, apakah keduanya terlibat langsung
atau menjadi korban oknum-oknum yang bermain untuk memuluskan penjualan
tanah ini.
Yang pasti menurut pihak Merawati, mantan kepala Desa Helvetia Agus Sailin, menolak menandatangani surat pengakuan yang dibuat Rakiyo, di saat masa akhir jabatannya.
Namun
atas perintah Camat Labuhan Deli, akhirnya Agus Sailin menyerahkan
stempel Kepala Desa kepada Sekdes Komaruddin. Komaruddin lah yang
kemudian membubuhkan tandatangan atas nama Kepala Desa Helvetia dan
membubuhkan stempel di surat tersebut.
Dari surat inilah kemudian
proses berlanjut, hingga ke tim verifikasi lahan-lahan eks HGU PTPN 2
di kantor Gubernur, dan pembayaran SPS (Surat Perintah Setor) ke PTPN 2
di Tanjung Morawa.
Rakiyo
yang pensiunan PTPN 2 itu kemudian merogoh kocek dan membayar SPS
sebesar Rp 3,1 Milyar lebih. Berbekal Surat Keterangan Pelunasan SPS
dari pihak PTPN 2 yang ditandatangani SEVP Businnis Suport Syahriadi
Siregar, tanggal 18 Februari 2022, maka secara resmi tanah seluas 1.888
meter dan bangunan di atasnya dihapus dari aset PTPN 2.
Surat
inilah yang kemudian menjadi bekal Rakiyo untuk mengurus Sertifikat Hak
Milik (SHM) ke Badan pertanahan Nasional (BPN) Deli Serdang. Dalam waktu
tidak berapa lama, SHM atas nama Rakiyo kemudian diterbitkan BPN, dan
dalam waktu singkat pula SHM itu berganti nama menjadi milik A Liong
alias Budi Kartono.
“Sejak awal sebenarnya proses yang terjadi
atas tanah yang sebagian milik klien kami itu cacat hukum. Karena itu
kita sudah melayangkan surat ke BPN Deli Serdang, agar Sertifikat Hak
Milik atas nama Budi Kartono, dibatalkan dan tidak bisa dipergunakan
untuk kepentingan apa pun. Ini merupakan langkah pencegahan, agar SHM
tersebut tidak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mengambil
keuntungan, dan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi pihak lain,”
jelas Ardianto SH.
Reporter : Tim
No comments